Patti LaBelle merupakan salah satu penyanyi gospel terkenal di Amerika dengan album musik yang terjual jutaan. Konsernya selalu dihadiri puluhan ribu orang. Bukankah ini cara yang enak untuk mempromosikan sesuatu?
Hal itulah yang dilakukan Chrysler saat meluncurkan SUV versi terbarunya Aspen dengan mendukung konser LaBelle di mega urban church di 14 kota di Amerika Serikat dengan tema “The Gospel According to Patti”
Tentu saja Chrysler tidak bisa menganggap kegiatan ini seperti kegiatan pemasaran lainnya yang menjual ala hard selling. Chrsyler harus bisa menunjukkan bagaimana mobil baru ini juga membantu “proses surgawi” para penggemar LaBelle.
Tidak heran jika Aspen hanya menjadi pembuka acara dan kemudian membiarkan mobil baru ini tergolek didalam setiap gereja tanpa ada promosi gila-gilaan. Namun setelah acara, setiap orang boleh ikut test drive dengan mengajak orang lain.
Atau misalnya apa yang dilakukan oleh produser film “Lion, the Witch and the Wardrobe” untuk mempromosikan peluncuran filmnya dengan mendekati para Pendeta di Gereja untuk ikut memenangkan undian berhadiah tiket liburan Amerika-Inggris plus uang saku US$ 1. 000.Caranya cukup sederhana, untuk setiap khotbah yang menyelipkan kata Narnia, bukti rekamannya dapat dikirim ke panitia untuk ikut diundi memenangkan tiket tersebut. Dengan promosi yang sangat sederhana, dapat menjangkau begitu banyak konsumen.
Fenomena yang menarik, bukan? Namun pada dasarnya pasar komunitas berbasis spiritual bukanlah sesuatu yang baru tapi memang tekanan kepada para pemasar membuat mereka mau tidak mau harus berpaling ke segmen yang satu ini.
Mari kita hitung, semenjak seseorang lahir pasti sudah diberi label “spiritual” tertentu. Dengan kata lain, semenjak pertama kali bayi dilahirkan, dia sudah bergabung dalam sebuah komunitas yaitu komunita spiritual. Jadi bayangkan seluruh penduduk di sebuah negara merupakan anggota komunitas berbasis spiritual. Belum lagi, tingkat interaktifitas dan keaktifan yang lebih tinggi. Faktanya, banyak juga yang gagal menggarap pasar yang satu ini.
Bagi saya, ada tiga jenis pendekatan pemasaran ke komunitas spiritual. Pertama, menjadikan spiritual hanya sebagai ajang promosi jangka pendek semata. Hal seperti ini seperti yang dilakukan oleh Chrysler dan Narnia. Di Indonesia, beberapa mereka melakukannya dengan menyambut hari perayaan agama tertentu dimana konsumen yang belanja akan didonasikan sebagian dari nilai pembelanjaannya. Pendekatan jangka pendek seperti ini tentu hanya menghasilkan manfaat jangka pendek tanpa ada efek yang signifikan dalam pembangunan merek
Kedua, menjadikan pasar atau komunitas berbasis spiritual sebagai alternatif segmen tambahan selain segmen konvensional yang selama ini digarap. Biasanya perusahaan hanya berusaha menambah pertumbuhan pasar namun tidak terlalu serius karena masih menunggu respon pasar yang tepat. Misalnya beberapa merek yang membuat fitur tambahan di saat musim naik haji atau yang lainnya. Sebagian besar usaha pemasaran yang berbasis spiritual memang tergolong ke jenis yang kedua ini. Dengan kata lain, perusahaan dan merek merasa lebih aman, terlihat moderate dan tidak punya tanggung jawab “spritual”.Usaha yang serba tanggung ini tentunya memberikan hasil yang tanggung. juga
Ketiga, perusahaan fokus pada segmen komunitas spiritual. Tidak hanya dari segi iklan ataupun program promosinya saja. Pendekatan ketiga ini membutuhkan konsep yang lebih komprehensif yang terbagi ke dalam 4 langkah yang disebut sebagai PETA seperti tergambar di bawah ini.
Sebuah merek harus bisa mengidentifikasi nila-nilai yang dibutuhkan oleh komunitas spiritual tersebut. Ada empat nilai tambah yang bisa diberikan oleh sebuah merek yaitu SWAT (Skills, Wealth, Access dan Time). Sebuah merek bisa saja menciptakan produk yang menambah keahlian, kesejahteraan, kemampuan dan penghematan waktu dari anggota di komunitas spiritual tersebut. Sebut saja misalnya Bismillah Telekomunikasi yang berhasil menambah access dan waktu bagi sesama anggota komunitas untuk bisa berkomunikasi dengan lebih baik.
Setelah sebuah merek memahami nilai tambah apa yang akan diberikan, merek tersebut dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan peranan dan partisipasi komunitas tersebut. Untuk itu, sebuah merek dapat melakukan berbagai kegiatan dengan mengambil enam peranan yaitu sebagai leader (memimpin anggota komunitas untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik), educator (memberikan pengetahuan kepada anggota komunitas yang tidak mereka dapatkan dari pihak lain), connector (membantu anggota komunitas berhubungan dengan pihak lain yang saling membutuhkan), host (menjadi tuan rumah untuk membantu terciptakan interaktivitas antar anggota komunitas), motivator (meningkatkan peranan masing-masing anggota komunitas) dan caretaker (meningkatkan pengaruh komunitas ke komunitas lainnya).
Setelah menentukan peranan apa yang akan diambil, sebuah merek kemudian dapat menjalankan peranannya untuk membantu meningkatkan fungsi dari komunitas tersebut dengan melakukan berbagai kegiatan community activation yang menghubungkan antara merek (brand) dengan pemimpin spiritual (spiritualist) dan anggota pengikutnya (follower). Misalnya apa yang dilakukan oleh Kecap Korma dengan positioning “Ada Amal Dibalik Kelezatan Asli Kecapnya” yang membawa Kecap Korma sebagai merek nomor satu bagi para pedagang sate. Setiap tahunnya, Kecap Korma mengadakan community activation ini melalui kegiatan Milad yang mempertemukan antara brand (Kecap Korma), follower (pedagang sate) dan spiritualist (pemimpin)
Ketiga langkah yang telah dijalankan sebelumnya tentunya akan menghasilkan semakin banyak promoter bagi sebuah merek. Sebut saja misalnya pedagang sate yang sangat nge-fans dengan Kecap Korma. Jika ada keluarganya yang berniat menjadi pedagang sate, maka akan rela memberikan beberapa botol Kecap Korma untuk memulai dagangannya. Bahkan tidak jarang, pesaing Kecap Korma yang mencoba memberikan berbagai penawaran akhirnya tidak mampu menggoyakan kesetiaan mereka terhadap Kecap Korma.
Jika sebuah merek benar-benar memahami value proposition komunitas berbasis spiritual, memberikan sesuatu untuk meningkatkan eksistensi merek (value enhancement) yang dibarengi dengan program yang mempertemukan merek, pengikut dan pemimpin nya (value transformation), maka pastinya merek tersebut akan menciptakan semakin banyak promoter dan mengurangi detractor dalam komunitas tersebut.