Di sebuah bilangan kantor di kawasan elit, terlihat suasana sekelompok pria dengan bangganya “menenteng” kotak-kotak warna putih dengan desain yang bagus layaknya komputer Apple.
Yang membuat kagum dan heran adalah produk tersebut adalah pembalut! Pembalut dengan harga premium yang sebanding dengan harga 50 pembalut biasa.
Pemandangan yang aneh karena biasanya pria lebih memilih untuk mengatakan tidak saat diminta pasangannya untuk membelikan pembalut.Setiap harinya, ribuan orang terlihat membawa kemasan pembalut ini layaknya media berjalan yang terlihat oleh semua penghuni perkantoran tersebut.
Beberapa hari kemudian, sekelompok pria ini akan mengajak orang lain untuk ikut membeli dengan jumlah yang juga cukup banyak. Sekumpulan konsumen wanita dan pria dengan bangga membawa, menceritakan, mempromosikan dan menjual produk ini ke setiap orang yang mereka kenal. Semakin banyak jaringan pertemanan yang mereka miliki, semakin banyak teman yang di ajak, semakin besar manfaat bagi mereknya.
Mengapa produk yang sensitif dan sering dibicarakan secara malu-malu seperti ini bisa meyakinkan tidak hanya wanita,tapi juga pria? Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial, tidak ada seorang manusia yang bisa hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Di dalam proses interaksi tersebut, terjadilah berbagai pembicaraan tentang merek. Penelitian Onbee Research (2010, 2011) secara konsisten menunjukkan 1 dari 2 pembicaraan konsumen Indonesia adalah tentang merek – mulai dari merek produk, jasa, instituti, pemerintahan, individu dan sebagainya.
Jika manusia adalah makhluk sosial, mengapa pengukuran dan penelitian tentang perilaku konsumen hanya sekedar menempatkan mereka sebagai seorang individu? Hal ini sepertinya terabaikan saat kita mengukur nilai seoarang konsumen. Konsumen dimanapun membentuk sebuah jaringan, mulai dari skala kecil seperti jaringan pertemenan kantor sampai dengan jaringan pertemanan sosial. Untuk itu, ada tiga hal yang harus diubah dalam pendekatan pemasaran saat ini
Pertama, old customer value is irrelevant. Selama ini, pengukuran nilai seorang pelanggan hanya mementingkan pelanggan sebagai seorang individu. Seperti terlihat dalam gambar, nilai seorang konsumen ditentukan dari manfaat yang didapatkan dibagi dengan pengeluarannya. Faktanya, bukankah apapun manfaat yang dirasakan konsumen, pasti akan tersebar melalui interaksi sosial yang dilakukannya? Pengukuran nilai konsumen seperti ini tidak mempertimbangkan apakah seorang konsumen yang bangga dan bahagia setelah menggunakan sebuah merek akan menularkannya atau tidak, demikian juga sebaliknya. Mungkinkah konsumen tidak pernah bercerita sama sekali? Diam seribu bahasa seumur hidupnya?
Kedua, Get, Give and Share. Jika pemasar hanya mempertimbangkan manfaat dan biaya yang dikeluarkan konsumen, bukankah ini justru bertentangan dengan kebiasaan konsumen yang bersosialisasi dan membentuk jaringan? Konsumen harus dinilai dengan cara yang baru dengan mempertimbangkan apa yang mereka lakukan saat berinteraksi dengan jaringan teman dan keluarganya. Seperti terlihat dalam gambar, selain apa yang mereka dapatkan dan berikan (Get and Give Value), konsumen harus dibedakan berdasarkan apa yang mereka bagikan, ceritakan dan promosikan ke orang lain (Share Value).
Seorang Ibu yang bahagia dan bangga menggunakan sebuah merek deterjen memiliki nilai yang berbeda bagi perusahaan dibandingkan Ibu lainnya jika Ibu tersebut aktif menceritakan dan mempromosikan pengalamannya (perbedaan antara individual value dan social value seorang pelanggan). Get and Give Value akan menjadi komoditas karena semua produk akan memiliki fitur yang tidak jauh berbeda. Share Value yang akan memberikan dampak yang berbeda bagi sebuah merek. Hal ini memberikan implikasi terhadap pengukuran merek itu sendiri.
Ketiga, from brand equity to advocacy value. Tantangan bagi para pemilik merek adalah bagaimana ekuitas merek yang dimiliki juga bisa menghasilkan ekuitas rekomendasi (advocacy value) yang tinggi. Jika ekuitas merek sangat dikendalikan oleh besarnya anggaran pemasaran tradisional, ekuitas merek dipengaruhi oleh program-program yang mengandalkan pembicaraan dan rekomendasi konsumen dan difokuskan pada konsumen dengan jumlah jaringan pertemanan di atas rata-rata. Jika sebuah merek sangat direkomendasikan oleh konsumennya – pertanda tingginya advocacy value – dan konsumen tersebut tergolong memiliki jaringan yang banyak (network value yang tinggi), merek tersebut akan menjadi merek yang paling direkomendasikan di kategorinya.
Penelitian yang dilakukan bersama Majalah SWA selama tiga tahun terakhir ini mencoba mengukur social value dari seorang konsumen yang menggambarkan ekuitas rekomendasi sebuah merek. Merek yang paling ideal adalah yang memiliki kombinasi yang bagus antara ekuitas rekomendasi dan ekuitas jaringan. Cerita pembalut di atas menunjukkan bagaimana merek tersebut mampu membangun ekuitas rekomendasi yang baik dan ditempatkan pada konsumen dengan ekuitas jaringan yang tinggi. Tidak heran, produk yang sensitif dan “memalukan” bagi pria justru menyebar dengan cepat layaknya virus mematikan yang tertular kepada seseorang dengan pengikut yang banyak!